Menjadi manusia mulia, berwibawa dan disegani merupakan hal yang diinginkan kebanyakan orang. Ibadah ditampakkan agar dianggap saleh, sedekahnya diumumkan agar mendapat julukan dermawan.
Tindakan-tindakan demikian lebih banyak berpotensi pada hilangnya pahala ibadah. Terjebak dalam keindahan julukan di dunia semata, dan lupa pada kenyamanan nikmat dalam akhirat yang kekal selamanya.
Harus diakui, sebagai manusia dengan segala kekurangannya memang sangat sulit untuk bisa menyembunyikan kebaikan dan kelebihan yang ada pada dirinya. Hal itu mungkin hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang hatinya sudah lupa akan penilaian orang lain dan fokus beribadah pada yang Mahakuasa. Manusia biasa terkadang masih terngiang dalam benaknya bisikan-bisikan setan yang selalu mengajak pada tindakan yang berpotensi menghilangkan pahala ibadah. Misalnya ajakan agar menceritakan amal ibadah kepada orang lain dengan tujuan orang lain juga termotivasi dengannya. Padahal, dengan cara demikian justru lebih berpotensi menimbulkan sifat sombong dan ingin dipuji dalam hatinya.
Meski juga ada sebagian orang yang justru murni ingin mengajak pada ibadah, tanpa ada sedikit pun berharap mendapatkan pujian—“disanjung tidak membuatnya terbang, dan dihina tak membuatnya tumbang.” Lailatul Qadar sebagai malam agung, lebih mulia dari seribu bulan. Tentu sangat beruntung orang yang bisa menemukannya dan hanya orang pilihan yang Allah kehendaki untuk bisa menjumpainya. Hanya saja, sebagai bentuk menjaga pahala malam mulia tersebut, para ulama menganjurkan lebih baik tidak menceritakan kepada siapa pun terkait kejadian lailatul qadar bagi yang menemukannya. Semua itu bermula dari sebuah kejadian antara Rasulullah dan dua sahabatnya. Saat itu Rasulullah diperkenankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberi tahu waktu terjadinya lailatul qadar, hanya saja ada sebuah kejadian yang menyebabkan diangkatnya pemberitahuan itu.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ليُخْبِرَ بِليلةِ القَدْرِ، فَتَلَاحَى رَجُلاَنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَقَالَ النبيُّ ﷺ: إِنِّيْ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فتلاحَى فُلَانٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ.
Artinya, “Rasulullah ﷺ keluar untuk memberitahukan tentang lailatul qadar. Tiba-tiba ada dua orang dari kalangan Muslimin yang saling mencaci. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Aku datang untuk memberitahukan kalian tentang waktu terjadinya lailatul qadar, namun fulan dan fulan saling mencaci, sehingga kepastian waktunya diangkat (tidak diketahui). Meski demikian, semoga kejadian ini menjadi kebaikan bagi kalian. Maka, carilah pada malam yang kesembilan, ketujuh, dan kelima (pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan).” (HR al-Bukhari).
Hikmah dari diangkatnya kepastian turunya lailatul qadar adalah sebagaimana disampaikan oleh Syekh Abil Fadl al-Ghumari, yaitu agar umat Islam tidak bermalas-malasan dalam beribadah, atau bahkan terjebak dalam fanatisme buta yang berakibat sama sekali tidak melakukan ibadah selama satu tahun, dengan berpedoman bahwa menjumpai lailatul qadar bisa menjadi sebab dihapusnya dosa selama satu tahun. Dengan hadist di atas, Syekh Abil Fadl al-Ghumari berpendapat bahwa disunnahkan bagi orang yang menjumpai lailatul qadar untuk tidak memberitahukan pada siapa pun.
Tokoh Muslim kelahiran Maroko (1910-1993 H) itu dalam kitab karangannya mengatakan :
يُؤْخَذُ مِنْهَا اِسْتِحْبَابُ كِتْمَانِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ لِمَنْ رَأَهَا. وَوَجْهُ الدِّلَالَةِ أَنَّ اللهَ قَدَرَ لِنَبِيِهِ أَنَّهُ لَمْ يُخْبِرْ بِهَا وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيْمَا قُدِرَ لَهُ فَيُسْتَحَبُّ اِتِّبَاعُهُ فِي ذَلِكَ.
Artinya, “Diambil dari kisah di atas yaitu: disunnahkannya menyimpan (tidak memberi tahu tentang kejadian yang ditemukan) ketika lailatul qadar bagi yang melihatnya. Sedangkan pokok dalil (disunnahkannya menyimpan) adalah, Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh nabi-Nya (Muhammad) untuk tidak memberitahukan perihal kejadian lailatul qadar. Sementara semua kebaikan mengikuti apa yang telah ditakdirkan pada Rasulullah, maka disunnahkan untuk mengikutinya (Nabi Muhammad) dalam hal tersebut (tidak memberi tahu)” (Syekh Abil Fadl al-Ghumari, Ghayatul Ihsan fi Fadli Syahri Ramadlan, h. 43).
Sedangkan hikmah disunnahkannya tidak memberi tahu kepada orang lain perihal kejadian ketika lailatul qadar menurut Syekh Abil Fadl al-Ghumari adalah orang yang bisa menemukan lailatul qadar merupakan orang khusus yang Allah berikan kehormatan dan karamah secara khusus pula. Tidak hanya itu, tidak memberi tahu juga mempunyai dua sisi yang lebih bermanfaat pada dirinya. Pertama, dari diri sendiri, orang yang melihat lailatul qadar akan lebih selamat dan terhindar dari sifat ingin dipuji oleh orang lain. Sebab, sifat tersebut akan merusak pahala menemukan lailatul qadar. Kedua, dari orang lain, orang yang memberi tahu perihal kejadian yang ia temukan ketika melihat lailatul qadar, maka tidak bisa dipastikan aman dari sifat hasud (dengki) orang lain. Sehingga, bukan kebahagiaan yang didapatkan olehnya, justru kebencian yang akan didapatkan. Dua sisi di atas sangat aman untuk menjadi alasan tidak menceritakan perihal lailatul qadar kepada orang lain.
Karena dengan cara tersebut, ia akan menyelamatkan dirinya dari hilangnya pahala lailatul qadar, juga menyelamatkan orang lain dari mendapatkan dosa sebab dengki dan berprasangka buruk kepadanya. Adakah Tanda-tanda Lailatul Qadar? Secara umum tanda lailatul qadar sebagaimana disampaikan Rasulullah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thayalisi, yaitu: “lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, udara cerah, siang harinya tidak terlalu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi harinya Matahari bersinar lemah, dan tampak kemerah-merahan.”
Sedangkan tanda-tanda lailatul qadar secara khusus bagi orang yang menemukannya, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Abil Fadl al-Ghumari dalam kitab Ghayatul Ihsan terbagi menjadi empat pendapat. Pertama, yang bisa menemukan lailatul qadar hanyalah orang-orang yang sedang melakukan sujud. Kedua, tampaknya cahaya pada setiap sudut tempat, bahkan tempat-tempat yang gelap gulita. Ketiga, mendengar suatu panggilan dari malaikat. Keempat, tanda-tandanya adalah diterimanya doa orang yang menemukan lailatul qadar. Hanya saja, menurut pandangan Imam at-Thabrani, berbagai pendapat yang ada tentang tanda-tanda tersebut tidak dipastikan nyata adanya, karena untuk menemukan lailatul qadar tidak diharuskan melihat sesuatu ataupun mendengarnya. Sunnatullah, santri di Pondok Pesantren Al-Hikmah Bangkalan.
Sumber: https://islam.nu.or.id/ramadhan/lailatul-qadar-anjuran-tak-memberi-tahu-bagi-yang-menjumpainya-wJapW